“Fenomena Transgender
dan Hukum Operasi Kelamin”
Apakah devinisi dari TRANSGENDER ????
Transgender adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang
yang melakukan, merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang
ditetapkan saat mereka lahir.
Belakangan ini semakin banyak fenomena waria yang berkeliaran di
jalanan untuk mengamen khususnya di dunia perkotaan, bahkan ada di antara
mereka yang menodai atribut muslimah dengan memakai kerudung segala. Selain itu
ironisnya, di media pertelevisian kita sepertinya justru ikut menyemarakkan dan
mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara
talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan
legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis
kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual. Bagaimanakah
sebenarnya Islam memandang masalah transgender tersebut dan
bagaimanakah hukum operasi kelamin serta mengubah-ubah jenis kelamin serta
peran dokter dan para medis dalam hal ini. Apa konsekuensi hukum dari
pengubahan alat kalamin tersebut misalnya menyangkut pembagian warisan, ibadah
dan interaksi sosial.
Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim
disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan
suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan
antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan
dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan,
make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian
kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder) – III, penyimpangan ini disebut
sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi
beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan
heteroseksual.
Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara
lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya;
berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami
guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya
ketika dating stress; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak
normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu
menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981)
semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri,
gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.
Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada
masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku
perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma
pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab
transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan
hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna
mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang
sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan
memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan
dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan
menurut syariat Islam.
Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci
persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga
bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang
dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi
perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak
lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak
berlubang atau tidak sempurna.; (3) Operasi pembuangan salah satu dari kelamin
ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis
kelamin (penis dan vagina)
Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan
sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina
(farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak
dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan
operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi
Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis
kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis
kelamin semula sebelum diubah.
Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada
dalil-dalil yaitu: (1) firman Allah Swt dalam surat Al-Hujurat ayat 13 yang
menurut kitab Tafsir Ath-Thabari mengajarkan prinsip equality (keadilan) bagi
segenap manusia di hadapan Allah dan hukum yang masing-masing telah ditentukan
jenis kelaminnya dan ketentuan Allah ini tidak boleh diubah dan seseorang harus
menjalani hidupnya sesuai kodratnya; (2) firman Allah Swt dalam surat an-Nisa’
ayat 119. Menurut kitab-kitab tafsir seperti Tafsir Ath-Thabari, Al-Shawi,
Al-Khazin (I/405), Al-Baidhawi (II/117), Zubat
al-Tafsir (hal.123) dan al-Qurthubi (III/1963)
disebutkan beberapa perbuatan manusia yang diharamkan karena termasuk “mengubah
ciptaan Tuhan” sebagaimana dimaksud ayat di atas yaitu seperti mengebiri
manusia, homoseksual, lesbian, menyambung rambut dengan sopak, pangur dan
sanggul, membuat tato, mengerok bulu alis dan takhannus (seorang
pria berpakaian dan bertingkah laku seperti wanita layaknya waria dan
sebaliknya); (3) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk para tukang tato, yang
meminta ditato, yang menghilangkan alis, dan orang-orang yang memotong (pangur)
giginya, yang semuanya itu untuk kecantikan dengan mengubah ciptaan Allah.” (HR.
Al-Bukhari); (4) Hadits Nabi saw.: “Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Ahmad). Oleh karena itu
kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya
bukan dengan merubah ciptaan Allah melainkan melalui pendekatan spiritual dan
kejiwaan (spiritual and psychological therapy).
Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan
atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama
diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki
lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun
vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan
dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini
merupakan suatu penyakit yang harus diobati.
Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir)
dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan
argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak
normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan
mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari
jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks
dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi
saw.: “Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual” (HR.al-Bukhari) Guna
menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh
dilakukan berdasarkan prinsip “Mashalih Mursalah” karena kaidah fiqih
menyatakan “Adh-Dhararu Yuzal” (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut
Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu
kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi
saw.: “Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak
mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit,
yaitu penyakit ketuaan.” (HR. Ahmad)
Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai
penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal
dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk
‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika
seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam tubuh dan
kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi
utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk
memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai
wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang
berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya
sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan
apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan
sosialnya.
Untuk menghilangkan mudharat (bahaya) dan mafsadat (kerusakan)
tersebut, menurut Makhluf dan Syalthut, syariat Islam membolehkan dan bahkan
menganjurkan untuk membuang penis yang berlawanan dengan dalam alat kelaminnya.
Oleh sebab itu, operasi kelamin yang dilakukan dalam hal ini harus sejalan
dengan bagian dalam alat kelaminnya. Apabila seseorang memiliki penis dan
vagina, sedangkan pada bagian dalamnya ada rahim dan ovarium, maka ia tidak boleh
menutup lubang vaginanya untuk memfungsikan penisnya. Demikian pula sebaliknya,
apabila seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian dalam
kelaminnya sesuai dengan fungsi penis, maka ia boleh mengoperasi dan menutup
lubang vaginanya sehingga penisnya berfungsi sempurna dan identitasnya sebagai
laki-laki menjadi jelas. Ia dilarang membuang penisnya agar memiliki vagina
sebagai wanita, sedangkan di bagian dalam kelaminnya tidak terdapat rahim dan
ovarium. Hal ini dilarang karena operasi kelamin yang berbeda dengan kondisi
bagian dalam kelaminnya berarti melakukan pelanggaran syariat dengan mengubah
ciptaan Allah SWT; dan ini bertentangan dengan firman Allah bahwa tidak ada
perubahan pada fitrah Allah (QS.Ar-Rum:30).
Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai
dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan
kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa
Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada
tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa
Timur.
Peranan dokter dan para medis dalam operasi penggantian kelamin
ini dalam status hukumnya sesuai dengan kondisi alat kelamin yang dioperasinya.
Jika haram maka ia ikut berdosa karena termasuk bertolong-menolong dalam dosa
dan bila yang dioperasi kelaminnya adalah sesuai syariat Islam dan bahkan
dianjurkan maka ia mendapat pahala dan terpuji karena termasuk anjuran bekerja
sama dalam ketakwaan dan kebajikan.(QS.Al-Maidah:2)
Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai
berikut:
Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan
tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan
sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari
segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi
pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian
juga sebaliknya.
Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang
mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih
atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat
identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah
Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika
selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa)
didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka
setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status
hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat
kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya.